Situs Resmi Koperasi UMN Al-Washliyah

DOSEN UMN AL WASHLIYAH MELAKSANAKAN PKM SOSIALISASI PERHITUNGAN HAK WARIS TERHADAP ANAK DARI HASIL PERNIKAHAN SIRI BERDASARKAN HUKUM ADAT

DOSEN UMN AL WASHLIYAH MELAKSANAKAN PKM SOSIALISASI PERHITUNGAN HAK WARIS TERHADAP ANAK DARI HASIL PERNIKAHAN SIRI BERDASARKAN HUKUM ADAT

Pengabdian Kepada Masyarakat termasuk salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yang wajib dilaksanakan sebagai Dosen. Hal ini menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan Dosen UMN Al Washliyah Medan sesuai dengan jadwalnya. Pada kesempatan ini pengabdian dilaksanakan Perusahaan Puri Food Healthy (Jumat, 27/10/2023).

Kegiatan ini mendapat dukungan positif dari ibu putri selaku pimpinan dari Puri Food Healthy dan menerima seluruh tim dosen pengabdian masyarakat Universitas Muslim Nusantara Al Washliyah Medan. Semoga kegiatan ini dapat menjalin silaturahmi yang baik dan kerjasama antara Perusahaan Puri Food Healthy.

Anak dari perkawinan siri menurut hukum Islam yaitu dianggap sah dalam hukum Islam dan berhak mendapat pengakuan dari ayah dan keluarga ayahnya serta mendapat hak sebagai anak termasuk hak waris dari orang tuanya. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.

Perkawinan harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil. Tanpa adanya pencatatan resmi, maka anak yang lahir dari pernikahan tersebut atau pernikahan siri hanya akan memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu.

Dalam Pasal 863 dan Pasal 873 KUHP, anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya.

masyarakat nikah siri sering diartikan dengan:

  1. pernikahan tanpa wali atau pernikahan yang dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju, atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
  2. pernikahan yang sah secara agama, dalam hal ini syarat nikah siri telah memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah, namun tidak dicatatkan pada kantor pencatat nikah, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (“KUA”) bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam; dan
  3. pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *